
SDK PANTI PARAMA PANDAAN TERAKREDITASI "A"
ELEMENTARY SCHOOL
Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan (PAIKEM)
Mengutamakan Kualitas
Mendididik dengan Disiplin
Melayani dengan Hati

(0343) 631768
BLOG: http://sdkpantiparama.blogspot.com/
EMAIL : pantiparamas@yahoo.co.id
KODE POS ; 67156
Jl. A. Yani No. 70 Kec. Pandaan Kab. Pasuruan
St. Tarsisius Martir Kecil
I
HIDUPKATOLIK.com - Tarsisius menawarkan diri menjadi pengantar hosti bagi orang-orang di penjara. Suatu tugas yang sulit dan berbahaya pada zaman itu. Anak laki-laki saleh itu pun kehilangan nyawanya, dirajam karena mempertahankan hosti suci.
Zaman sudah berubah. Umat Katolik kini tak perlu sembunyi- sembunyi lagi bila akan mengadakan Misa. Para imam atau prodiakon dapat mengantarkan
hosti untuk orang di penjara dengan leluasa. Bagaimana melihat semangat
kemartiran Santo Tarsisius dalam konteks masa kini?
Kurir pembawa hosti
Pada abad pertama sampai keempat, orang-orang Kristen yang berada di bawah kekuasaan Roma sering ditindas. Mereka tidak boleh mengikuti Misa secara terang-terangan. Bila kedapatan oleh tentara Romawi, mereka ditangkap dan dihukum. Bila bersikeras mempertahankan iman akan Yesus yang bangkit, mereka dihukum mati. Meskipun hidup dalam situasi demikian, begitu banyak orang yang tak segan-segan menghidupi iman mereka akan Yesus yang bangkit secara terang-terangan.
Tarsisius adalah seorang pelayan altar (akolit) yang hidup di abad ketiga, pada zaman pemerintahan Kaisar Valerianus. Ia tinggal di Roma, Italia. Ketika berumur sepuluh tahun, ia bersama ibunya biasa mengikuti Misa pagi. Misa pagi dilakukan di tempat yang tersembunyi. Setelah memastikan sekelilingnya aman, Tarsisius mengetuk sebuah dinding batu. Itu adalah pintu masuk menuju sebuah makam bawah tanah yang dijadikan kapel. Tempat ini sering disebut katakombe. Mereka berjalan merangkak masuk, dan di sana ditemukan begitu banyak umat Katolik yang sedang berdoa.
Tak lama kemudian, muncul seorang imam. Mereka bersama-sama merayakan Perjamuan Tuhan. Tarsisius merasa amat bahagia bila menerima Tubuh Kristus. Setiap kali mendengar imam berkata: “Makanlah dan minumlah, inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”, Tarsisius merasa damai.
Namun hari itu, setelah Misa selesai, imam melihat sekeliling. Ia berseru, “Kita sama seperti saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?”
Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat. Dari umat yang hadir ada seorang serdadu Roma yang baru saja bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk melakukan tugas itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini pun sedang dicari-cari.
Tarsisius merasa mampu melaksanakan tugas mulia itu. Tanpa bersuara, ia menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud Tarsisius dan menganggukkan kepala. Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.” Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kau perbuat?”
Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.” Melihat keberanian Tarsisius, imam lalu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius.
Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, justru saat melewati sebuah lapangan tempat teman-teman Tarsisius sedang bermain, halangan muncul. Teman-temannya mengajaknya bermain. Tarsisius menolak. Teman-temannya heran. Mereka mengerumuni Tarsisius. Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu di tangan, mereka menarik tangan Tarsisius, dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan tangannya. Bahkan, ia semakin kuat mempertahankan apa yang sedang dipegangnya. Akhirnya, Tarsisius jatuh.
Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil melepaskan tangan Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming. Tangannya tetap tak terbuka. Kini, ia semakin kuat memeluk Sakramen
Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali.
Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah tak sadarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya menawarkan diri membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak sadarkan diri. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.
Tarsisius meninggal dalam perjalanan menuju katakombe. Ia wafat sebagai martir cilik. Jasadnya dimakamkan di makam katakombe San Callisto, yang terletak di Appian Way. Pestanya dirayakan setiap 15 Agustus. Dan, Gereja menetapkan Tarsisius sebagai pelindung akolit. Tarsisius adalah Santo yang dijadikan teladan bagi Putra-Putri Altar dan penerima Komuni pertama.

